Cinta dalam Agama

Tari menatap seisi kamarnya untuk yang kesekian kalinya. Kamar tidur yang telah ditempatinya sejak ia kecil, saksi bisu dari perjalanan hidupnya selama hampir 25 tahun usianya di dunia ini. Di sinilah ia menghabiskan masa kecilnya yang indah, masa remajanya yang penuh kenangan. Meja kayu jati kecil yang setia menemaninya belajar hingga tamat SMU. Dinding-dinding yang dipenuhi dengan poster bintang idolanya di masa lalu, boneka-boneka yang tertata rapi di atas tempat tidur mungil berselimut biru tua. Di kamar inilah ia diam-diam mempelajari agama barunya, yang belum lama dianutnya. Agama cinta, begitulah Tari biasa menyebutnya.

Masih terbentang di benak Tari ketika seusai ia mengucapkan dua kalimat syahadat di sebuah masjid kecil yang terletak agak jauh dari tempat tinggalnya. “Bagaimana bila Papa dan Mama mengetahuinya?” Pikiran Tari dipenuhi dengan berbagai pertanyaan dan rasa cemas dan khawatir meliputi dirinya.

“Apakah mereka akan marah besar? Apakah mereka akan mengusirku dari rumah?” Tetapi semua itu tertelan oleh kebahagiaan yang luar biasa. Ketenangan dan kedamaian yang meliputi seluruh relung hatinya. Persis ketika pertama kali Tari mendengar adzan berkumandang di kejauhan, ketika Tari mendengar suara orang-orang membaca kalam Illahi di tengah malam ketika ia melewati masjid di dekat rumahnya sepulangnya dari kantor.

Orang tua Tari tidak mengenal agama cinta ini. Mereka sangat menentang bila ada di antara anak-anaknya yang membicarakannya, apalagi menganutnya. Sejak kecil Tari dan adik-adiknya dididik dengan tegas dan penuh disiplin. Ayah Tari sangat jarang mentolerir kesalahan. Be a perfect person. Itulah semboyannya yang diterapkan pada anak-anaknya.

Lelah… Tari sangat lelah menjalani semuanya ini. Bagaikan seorang musafir yang melintasi padang gurun nan luas, mendaki bukit terjal dan berjalan di tengah badai. Apakah yang ia cari dalam hidup ini? Kemanakah kaki-kaki lemah ini melangkah? Keputusasaan dan ketidakberdayaan Tari mencapai puncaknya. Pada saat itulah panggilan Sang Cinta mengalun bagaikan nafas baru kehidupan di relung jiwanya. Karena Sang Cinta pula, ia siap mengambil resiko terburuk yang akan dihadapinya; terbuang dari keluarganya.

Dan saat itu pun tiba. Suatu sore yang cerah seketika berubah menjadi sore yang penuh amarah. Tari baru pulang shalat maghrib di masjid di dekat kantornya. Ia membungkus mukenanya baik-baik dan menyimpannya di sudut tas kerjanya. Selama ini ia selalu mengunci pintu kamarnya rapat-rapat bila ia sedang shalat, khawatir ayah ibunya memergoki. Tari berusaha untuk tidak sering-sering shalat di rumah.

“Dari mana saja kamu, Tari?” tegur ayahnya dingin ketika Tari melintasi ruang tamu menuju ke kamarnya. Tari menghentikan langkahnya dan memandang wajah ayahnya yang memerah menahan amarah.

“JAWAAAABBBB!!!” bentak ayahnya sembari mengepalkan tangannya. Matanya yang dulu pernah menatap Tari kecil dengan penuh cinta, seketika berubah menjadi bola api yang siap menelan Tari. Seketika Tari menggigil ketakutan.

“JANGAN KAMU PIKIR PAPA TIDAK TAHU APA YANG TELAH KAMU LAKUKAN YA!!! KAMU SUDAH JADI ANAK DURHAKA SAMA ORANG TUA??” gelegar suara ayahnya memenuhi seisi rumah. Ibu dan adik-adiknya mengkerut di sudut ruangan. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka.

Tari tergagap-gagap. Dengan kasar ayahnya merenggut tas kerja Tari dan mulai melemparkan semua isinya ke lantai. Urat-urat di lehernya bertonjolan keluar dan tangannya gemetar ketika ia menggenggam mukena Tari.

“ANAK KURANG AJAR!!!” Plak… Plak… Plak… Tangan yang dulu pernah menggendong Tari kecil dengan penuh kasih sayang, menggenggam dan mengelusnya dengan hangat, berubah menjadi cambuk-cambuk angkara bagaikan cemeti merobek-robek wajah Tari.

“Maaf..Pa.. Tari tidak bermaksud membuat Papa marah…” Tari mulai terisak. Tangis Tari bukannya membuat amarah ayahnya surut, malah kian menjadi. Tangan dingin sang ayah terus menghujani tubuh Tari yang pelan-pelan tergolek, tersungkur tidak berdaya di lantai ruang tamu yang dingin. Rasa sakit mendera tubuhnya. Hanya karena cintanya kepada Sang Cinta-lah yang membuatnya tetap bertahan, dan tidak membalas ayahnya sedikitpun. Mulut Tari mengecap rasa asin yang aneh. Ingin rasanya ia mengusapnya, tetapi tangan ayahnya terus menerus menghujani wajah dan tubuhnya.

“BERHENTIIIII!!!!!” teriakan melengking tiba-tiba menggema menembus api amarah yang membara di ruang tamu itu. “BERHENTI SEKARANG JUGA KATAKU!!! TARI, KAMU KELUAR DARI SINI SEKARANG!!! KELUAR SEKARANG JUGAAA!!!” ibu Tari berdiri di samping mereka. Tubuhnya menggigil menahan marah.

“Bila kamu tetap berpegang teguh pada agamamu yang baru itu, berarti kamu bukan anak kami lagi. Pergilah, carilah sendiri jalan hidupmu di luar sana,” kata-kata ibunya yang tegas dan dingin bagaikan belati yang sedikit demi sedikit menghujam relung hati Tari yang terdalam.

Tari menatap kedua orang tuanya dengan pandangan nanar dan mata yang berkunang-kunang. Kedua orang tua yang begitu dicintainya, begitu dihormatinya. Melalui merekalah ia mengenal dunia ini. Melalui merekalah ia belajar dan tumbuh dewasa. Kini semuanya seakan luruh satu demi satu. Walaupun ayah Tari mendidik Tari dan adik-adiknya selama ini dengan keras, tidak pernah sekalipun ia menggunakan tangannya untuk menghajar mereka.

Tapi kini Tari tidak punya pilihan lain. Ditatapnya adik-adiknya yang memandangnya dengan mata berkabut. Dipungutnya barang-barangnya yang berserakan di lantai. Ia menegakkan tubuhnya dan memandang kedua orang tuanya.

“Papa, Mama, maafkan Tari. Tari mengecewakan Papa dan Mama. Walaupun Papa dan Mama tidak akan pernah lagi mengakui Tari sebagai anak, tetapi buat Tari, Papa dan Mama adalah hal yang terbaik yang pernah terjadi dalam hidup Tari. Di dunia ini, Tari diperbolehkan untuk mengecap kasih sayang dan cinta dari Papa dan Mama. Tetapi Tari sudah menemukan Sang Cinta Abadi yang tidak akan pernah pudar. Cinta yang selalu bersinar dan menerima Tari apa adanya; baik dan buruk. Cinta yang membimbing Tari dalam jalan lurus menuju keabadian. Dan ketika Sang Cinta telah menemukanku, Ia telah membawaku pulang ke dalam dekapan-Nya,” suara Tari mengalun bagaikan air sejuk di tengah nyala api. “Tidak akan pernah lagi kulepaskan walau sedetikpun.”

Kemudian Tari melangkah masuk ke kamarnya, mengemasi barang-barangnya dan sekali lagi memandang kamar tidurnya. Kamar yang mungkin tidak akan pernah dilihatnya lagi. Kemana kakinya akan melangkah dan dimana ia akan merebahkan tubuh penatnya, itu sudah bukan masalah lagi sekarang.

Ia menghela nafas panjang. Dengan tenang, Tari berjalan keluar, melangkahkan kakinya keluar rumah tanpa menoleh lagi. Menatap masa depan lurus dengan penuh keyakinan pada Sang Cinta, karena ia sedang berjalan di dalam agama cinta...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar